Saya Tidak Dimanusiakan

Dari luar mereka cukup bahagia. Ternyata di balik itu, Lina, sang isteri, punya rencana kembali ke orang tuanya membawa Prima, putri tunggal mereka.

Cerita Lina:

“ Saya kira, cukup sudah kesabaran saya, Bu,” inilah kalimat pertama yang keluar dari mulut Lina, ibu dari seorang putri berusia 5 tahun. Walau ia berusaha bersikap ramah, namun tampak sekali ia sedang kalut dan tegang. ”Saya merasa diperlakukan tidak adil oleh Mas Harun. Enam tahun saya jadi istrinya, tapi apa yang saya lakukan tidak ada gunanya. Saya merasa terpojok tanpa diberi kesempatan membela diri. Yang saya dapatkan malah umpatan-umpatan penyesalan dari Mas Harun,” tiba-tiba tangisnya meledak.

Dengan wajah agak malu Lina melanjutkan, ”Pernikahan kami terpaksa dilakukan atas paksaan ayahnya Mas Harun, karena saya telah hamil 2 bulan. Sejak menikah itulah, bencana mulai menimpa saya,“ kata Lina di antara sedu sedannya. Kembali ia menangis seakan melepaskan himpitan stres yang selama ini ditahannya.

“Saya hidup seakan di neraka, jauh dari manisnya hubungan pengantin baru. Saya selalu ketakutan bila Mas Harun berada di rumah, karena kemarahan-kemarahannya pada saya. Saya hampir tidak percaya, hanya karena kesalahan kecil yang tidak sengaja saya lakukan, bisa membuat dia sangat marah. Kadang ia lepas kendali, memukul saya. Paling sedikit ia akan melempar benda apa saja yang ada didekatnya. Dan… yang sangat melukai perasaan saya adalah, sikap marah dan omongannya yang tidak memanusiakan saya. Saya diperlakukan sebagai budaknya, dimarahi dan dimaki-maki. Padahal, orang tua saya tidak pernah memukul saya. Dia selalu mengatakan, “Ini semua gara-gara kamu, semua persoalan yang saya temui gara-gara aku terpaksa menikahi kamu. Menyesal aku mengawini kamu, ternyata cuma bawa sial!”,” tangis Lina pun makin keras.

Setelah agak tenang, Lina melanjutkan, “Mas Harun tidak pernah sekali pun bersikap manis pada saya. Satu-satunya yang dapat menenangkan saya adalah orang tua Mas Harun. Untung kami masih menumpang di rumah orang tuanya, sehingga kekejaman Mas Harun masih dapat dipantau. Saya tidak bisa membayangkan kalau kami tinggal sendiri, bagaimana jadinya nasib saya.”

“Mas Harun tidak pernah mau mengantar saya ke dokter untuk memeriksa kandungan. Malah dengan kasar ia selalu mengatakan bahwa belum tentu itu anak dia. Menurut dia, saya perempuan brengsek yang selalu bergaul bebas,” cerita Lina masih sambil terisak.

“Aduh Bu, saya sedih sekali, tersinggung dan terhina mendengar omongannya. Memang saya salah, tapi saya masih punya perasaan dan harga diri. Saya tidak pernah tidur dengan lelaki lain, kecuali dengan Mas Harun. Mungkin inilah kebodohan saya, terlalu percaya pada rayuannya, janji-janji manisnya,” nada suara penuh penyesalan jelas terdengar. “Kadang terlintas di pikiran, lebih baik mati saja. Tapi itu perbuatan dosa kan Bu, mendahului keputusan Tuhan?” tanya Lina seakan mohon pembenaran.

“Selama ini saya selalu berusaha menjadi istri yang baik, walaupun hanya sakit hati yang saya dapatkan. Meski saya tinggal bersama mertua, saya tetap mengerjakan semua tugas rumah tangga sendiri. Sementara itu, Mas Harun terus dengan sengaja melukai perasaan saya. Misalnya, dengan tidak menyentuh minuman kesukaannya dan sarapan yang saya sediakan untuk dia. Dia malah memanggil pembantu ibunya, minta disiapkan apa yang dimintanya. Ini kan sangat menyakitkan, Bu,” kembali Lina berurai air mata.

Lanjutnya kemudian, “Pernah suatu malam Prima sedang sakit. Ia rewel dan menangis terus, sementara Mas Harun ingin istirahat. Tiba-tiba jam 23.00 dia bangun dan marah-marah pada saya dan Prima. Kami bertengkar hebat. Mas Harun tidak bisa menahan emosinya. Dalam keadaan kalap, ia mencekik saya. Tentu saja saya panik dan berteriak histeris. Saking takutnya, saya lari keluar dan tidak berani tidur di dalam.”

“Saya benar-benar sangat kecewa, sedih, dan marah saat itu. Akhirnya saya putuskan, saya tidak mau meneruskan pernikahan ini. Habis kesabaran saya karena saya tidak dimanusiakan oleh dia. Harga diri saya telah diinjak-injak. Saya benci sekali. Saya menyesal mengapa dulu saya begitu bodoh, sehingga terperangkap dalam permasalahan ini. Kejadian itu kan bukan semata-mata tanggung jawab saya. Dia juga terlibat dalam keadaan tersebut. Tetapi seakan-akan kewajiban sayalah untuk menyelesaikannya. Sementara, dia bisa terbebaskan. Dia tidak usah takut Prima akan manjadi tanggung awab dia. Sudah saya tetapkan, apa pun yang akan terjadi, Prima tidak akan saya lepaskan. Saya akan bekerja dan untuk sementara Prima akan saya bawa ke rumah orang tua saya,” Lina mengakhiri pembicaraannya dengan suara mantap.

Cerita Harun:

Harun baru datang setelah lewat 2 minggu dari hari yang ditentukan. Wajahnya kusut dan tampak tegang. Sikapnya pun sangat formal, jauh dari keramahan. Pertanyaan-pertanyaan awal dijawabnya secara singkat-singkat saja. Ia mereguk minuman dingin yang ada di hadapannya, dan sambil menarik napas panjang ia berkata, ”Dari mana saya harus mulai cerita? Pasti Lina sudah menceritakan semua kejelekan saya.”

“Saya tidak mengerti apa sih yang diinginkan Lina, kok selalu menyalahkan saya?” terdengar suara Harun berang. “Saya kan sudah menikahinya, walaupun saya merasa dijebak oleh Lina. Saya bukan satu-satunya laki-laki yang menidurinya. Pantasnya dia berterimakasih dan tidak usah rewel,” kata Harun dengan nada tinggi.

“Kadang-kadang saya sengaja membuat dia kesal, sehingga akhirnya keributan pun tidak dapat dihindari. Terus terang, saya sangat marah dengan sikap dan caranya memonitor saya di kantor: Mengapa saya tidak langsung pulang dari kantor? Dengan siapa saya pergi makan siang? Atau, menanyakan mengapa bekal yang disiapkan untuk ke kantor tidak dimakan. Saya merasa seperti sedang diinterogasi polisi. Karena itu saya berusaha menghindar kalau dapat kesempatan. Saya merasa dia telah merampas kebebasan saya dengan menuntut macam-macam. Saya kan masih ingin menikmati kehidupan bebas!” suaranya terdengar geram.

“Karena hal-hal kecil seperti itu kami sering bertengkar. Prima juga sering jadi sasaran kemarahan saya pada ibunya, sehingga Prima pernah mengalami stres dan ketakutan yang amat sangat terhadap saya. Sebenarnya saya kasihan pada Prima, karena saya sering tidak berhasil mengendalikan emosi. Saya ingin Lina mengubah kelakuannya yang tidak saya sukai,” tegas Harun.

“Tiga tahun pertama Lina memang berusaha menahan diri. Nampaknya ia takut kalau saya mulai emosi. Paling dia banyak menangis dan diam. Ibu saya berusaha untuk membujuk dan menenangkan Lina agar ia mau lebih sabar menghadapi saya. Ia berusaha menjadi istri yang baik, istri yang bertanggung jawab. Kewajiban-kewajibannya sebagai istri selalu diselesaikannya dengan baik. Misalnya, menyiapkan makanan untuk saya, jam berapa pun saya pulang. Meski tidak pernah ada ucapan terima kasih dari mulut saya, tapi ia tidak pernah menunjukkan perubahan ekspresi wajahnya,” cerita Harun.

Setelah terdiam sesaat, Harun melanjutkan, “Belakangan ini sikapnya berubah. Ia mulai berani melawan bila merasa terpojok. Apalagi setahun terakhir ini ia memulai suatu usaha bisnis dengan temannya, seorang pramugari. Bisnis mereka nampaknya cukup sukses. Prima pun makin dekat hubungannya dengan ibunya,” katanya sambil menerawang.

“Sekarang ini, saya mulai berpikir dan merasakan, sepertinya ada sesuatu yang hilang dari kehidupan saya. Sementara Lina nampak makin tegar dalam menghadapi kesulitan-kesulitannya, terutama menghadapi masalahnya dengan saya. Ia sempat mengatakan, ”Saya sudah mempersiapkan mental untuk menghadapi hari depan tanpa Mas Harun. Saya sudah cukup menderita mendapatkan perlakuan yang sangat melukai perasaan saya. Sekarang kesabaran saya sudah habis.” Dia mulai berubah,” begitu kesan Harun tentang istrinya sekarang.

“Sekarang keadaan berbalik, Bu. Ternyata saya sangat membutuhkan perempuan yang mempunyai kesabaran dan tanggung jawab seperti Lina. Apa yang harus saya perbuat ya Bu, agar Lina dan Prima mau kembali pada saya?” suara Harun terdengar lirih.

Saran Psikolog:

Apa yang terjadi pada Harun dan Lina sebetulnya merupakan akibat dari ketidakmengertian remaja tentang fungsi dan peran alat-alat reproduksi pada manusia. Mereka terhanyut oleh luapan perasaan dan tidak menyangka akibatnya bisa sampai sedemikian jauh. Lina mengatakan bahwa kejadian itu hanya terjadi satu kali. Mereka tidak menyadari walaupun hanya satu kali, mungkin saja Lina sedang dalam masa subur, sedang terjadi ovulasi, sehingga kehamilan pun terjadi.

Argumentasi Harun yang mengatakan bahwa Lina menjebaknya tidak benar. Kami melakukan klarifikasi agar baik Harun maupun Lina tidak saling lempar tanggung jawab.

Hal kedua yang kami diskusikan adalah masalah kedewasaan seseorang yang antara lain ditandai adanya tanggung jawab. Ketika ayah Harun memutuskan mereka harus segera menikah, sebenarnya baik Harun maupun Lina belum siap mental untuk memikul tanggung jawab. Terutama Harun, yang merasa bahwa Lina telah menjebaknya. Sementara bagi Lina, perkawinan ini lebih merupakan ‘penyelamatan’ bagi dirinya, karena kehamilan tersebut.

Kami mengajak Harun melihat permasalahan ini secara rasional. Maksudnya agar ia dapat menerima dan menyadari bahwa, tidak dapat dipungkiri, ia juga turut ambil bagian dalam kejadian tersebut. Kami tunjukkan juga bukti bahwa hasil pemeriksaan DNA dari Prima ternyata sama dengan DNA Harun. Ia tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Apalagi, ayahnya pun makin tegas menyatakan bahwa Prima adalah darah dagingnya sendiri. Dituntut tanggung jawab Harun sebagai ayah.

Pada awalnya, Harun masih berusaha berkelit, menyangkal, sehingga pertengkaran-pertengkaran pun tidak dapat dihindari. Situasi panas diwarnai perlakuan kasar Harun pada Lina membuat Prima kecil mengalami kecemasan dan ketakutan luar biasa. Prima sampai mengalami gangguan pernafasan, terutama saat batuk yang berkepanjangan dan tidak bisa dihentikan.

Disisi lain, hubungan antara Prima dan ibunya menjadi semakin dekat. Prima hampir-hampir tidak mau dipisahkan dari ibunya.

Pada pertemuan kedua dengan Harun dan Lina, wajah mereka nampak sudah mulai cerah, terutama Harun yang sudah lebih mau terbuka. Ia dapat mengungkapkan perasaan-perasaan kecewanya dan kemarahannya dengan lebih tenang.

Rupanya, di saat hubungannya dengan Lina mengalami masa kritis, Harun mencoba membina hubungan dengan beberapa wanita lain yang mendekatinya. Awalnya, ia menikmati indahnya hubungan dengan wanita-wanita tersebut. Tapi lama-lama ia menyadari wanita-wanita itu hanya tertarik pada isi kantongnya. Mereka tidak tertarik pada nilai cinta tulus Harun. Kekecewaan demi kekecewaan akhirnya menyadarkan Harun betapa ia telah menyia-nyiakan seorang perempuan yang cintanya benar-benar tulus dan murni, yaitu Lina. Justru di saat ia menyadari kekeliruannya ini, Lina berada di ambang keragu-raguan: Apakah terus atau sampai sekian saja hubungannya dengan Harun, karena merasa diperlakukan tidak adil selama ini.

Di hadapan Lina, Harun akhirnya mau mengakui perbuatan-perbuatannya. Ia sekaligus minta kesediaan Lina untuk memaafkannya. Ia menyadari apa arti cinta yang tulus yang diberikan Lina selama ini dan betapa Prima juga sangat membutuhkan cinta kasih yang lengkap dari ayah dan ibunya. Untunglah, akhirnya mereka memutuskan mencoba memahami kehidupan mereka dengan penuh optimisme.

“Mas Harun nampak tidak bisa menahan emosi. Dalam keadaan kalap ia mencekik saya.”

“Saya merasa dia telah merampas kebebasan saya dengan menuntut macam-macam. Saya kan masih ingin menikmati kehidupan bebas!”

Rubrik ini dikelola Redaksi Ayahbunda bekerja sama dengan tim psikolog di bawah koordinator Dr. Jeanette Murad Lesmana , staf senior pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia .

Penasihat kali ini Dra. Nanna Agoes Machdi, M.Si.

~ oleh arahmannh pada April 29, 2009.

Tinggalkan komentar